Aku memanggilnya Bapak, karena
memang itulah panggilan yang pantas untuknya, tidak berlebihan. Namun panggilan
itu juga tidak menunjukkan kasta yang bawah. Suatu panggilan yang dirasakan begitu
akrab, hangat dan mempu menggetarkan hati saat kita menyebutkan hanya untuk
beliau.
Mempunyai seorang Tauladan yang
baik adalah anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Terkadang rasa beruntung itu patut
disyukuri dengan rasa rindu yang tinggi. Entah apa sebutannya yang paling
pantas bagi seorang tauladan. Yang paling penting hakikat seorang contoh itu
bisa menjadikan role model yang melekat di ingatan kita, sehingga kita merasa
harus menirunya karena kelakuannya: gayanya berjalan; tenangnya berbicara; memberi
nyaman dari sentuhan nasihatnya; dan yang paling tidak bisa dipungkiri adalah kasih
sayangnya. Aku mendapat “sesuatu” yang harus aku terjemahkan menjadi sebuah
tulisan kali ini. Dalam kalimat kedua terakhir, saya rasa kasih sayang itu
sesuatu yang terbatas. Terbatas hingga mereka menyadari bahwa mereka tidak akan
mendapatkan keberuntungan berupa kasih sayang dari Seorang Ayah. Aku mungkin
menjadi salah seorang yang beruntung. Ayahku masih bernafas di dunia ini. Itu juga
artinya Beliau bisa melihatku melenggang sampai sejauh ini. Tetapi ingat kasih
sayang yang terbatas ini bukan berasal Sang Pencipta. Karena Tuhan Kasihnya tak terbatas.
Tidak banyak orang yang akan
mengabadikan biografi ayahnya sendiri. Krisis waktu dan kurangnya pemahaman
tentang cerita dari orang ketiga, kasih sayang langsung dari seorang ayah,
maupun masalah dan dinamika keluarga yang terjadi membuat seseorang enggan
untuk membuat sejarah itu kembali dituangkan dalam dunia tulis menulis. Sejarah
yang ditulis itu sangat penting. Manfaatnya kita dapat mengenang seseorang yang
telah mempunyai andil besar adanya kita di dunia ini, anak cucu kita dapat membayangkan
seorang kakeknya hanya dengan membaca apa yang telah kita dokumentasikan.
Sayangnya Aku juga belum mengetahui sosok kakekku dulu yang katanya seorang
pejuang dan seorang tukang becak. Begitu juga dengan buyutku. Silsilah keluarga
Ibuku, menurut penuturan “Pak lek” memang berasal dari salah satu Wali songo di
Jawa Timur. Namun terputus karena Ibuku. Silsilah hanya dapat dilanjutkan oleh
keluarga laki-laki saja. Sekarang, janganlah kita tambahi cerita kita dengan
rincian yang tak perlu.
Mari kuceritakan tentang Biografi
Bapak Saya. Biasanya saat aku bertemu dengan Saudara, ataupun saat berbincang
dengan ibuku aku selalu menggalih apakemampuan Bapakku di masa yang lalu atau
menanyakannya secara langsung. Ini Aku lakukan agar aku paham siapa orang tuaku
itu. Satu hal yang tidak bisa aku pungkiri adalah aku terlalu segan untuk
membantah Perintah Bapakku. Padahal, tidak seperti kebanyakan orang tua, bahkan
dia hanya berbicara pelan dan tulus seperti sedang tidak melakukan perintah.
Beliau juga jarang membentak-bentak. Namun perintahnya langsung nancap di
hatiku. Ayahku semasa muda adalah anak kelima dari 11 orang bersaudara. Pada
zaman-zaman orde lama yang tidak enak. Beliau berfikir untuk bekerja menjadi
seorang kuli. Saat itu seusia SMA mungkin, rumah Bapak pas berhadapan dengan
rumah temannya KH. Akhathath (mantan ketua HTI, sekarang Sekjen FUI) seorang
yang sangat cerdas saat muda dan tidak mau bergabung dengan kemenag meski waktu
itu ditawari masuk tanpa tes, dengan alasan banyak praktik korupsi. Seorang
kuli dijalani dengan tidak ada perasaaan malu sama sekali. Dia mengangkut pasir
dari sungai dengan gerobak dan menjualnya ke tempat pesanan. Bapak juga tidak
menolak untuk dibayar sebagai kuli cat untuk melapisi tembok yang terbuat dari
bambu (baca:gedek) padahal saat itu sedang bulan puasa. Saat lulus Sekolah STM
listrik waktu itu ia mencari pekerjaan. Untuk menambah pengalaman kerja, Bapak
mengikuti kursus menjahit pakaian. Beruntung waktu itu ada lowongan sebagai
pegawai Negeri Sipil. Waktu itu peminat untuk menjadi Abdi Negara Pemerintahan
Kota sangat sedikit, atau hampir tidak ada peminatnya, karena gajinya sangat
kecil. Tempo itu juga tidak seperti sekarang yang mengharuskan untuk membayar
100-200 Juta kepada Oknum Walikota, Kemenpan, Polisi, Pegawai Negeri Sipil Perantara.
Setelah masuk beliau bertugas sebagai pemutar film layar tancap di malam hari.
Di departemen Penerangan (Sekarang bubar). Setiap hari berangkat kerja dengan
jarak lebih dari 10 kilometer menggunakan sepeda pancal. Pernah waktu bertugas
malam hari hujan pukul 12 Malam, Bapak berangkat dengan sepeda dalam kondisi
hujan dan jalan yang gelap. Waktu itu belum ada penyediaan penerangan jalan. Hanya
lampu yang melekat di sepeda dengan bantuan dinamolah yang menemani Bapak
melaju terang. Bapak juga pernah mengikuti kuliah hukum di usia 40 tahunan di
luar kota 4 hari seminggu dijalani. Di Universitas Panca Marga Probolinggo. Selama
4 tahun sampai lulus. Hingga akhirnya setelah menyelesaikan PIM 3 sekarang
menjadi seorang Pejabat Eselon 3 (Setingkat Kepala Kantor) suatu badan
pemerintahan dengan jalan kebenaran, bukan jalan kebeneran atau jalan
kebetulan. Sekarang sedang memasuki tahun pensiun. Itulah sesingkat perjalanan
hidup seorang Bapak. Bapakku.
Bapak tidak pernah sekali kali
memukul ibu saya dari saat berkenalan sampai hari ini, itu kata Ibu. Bapak saya
Pendiam. Saya lebih sering belajar dari contoh-contoh bagaimana beliau bersikap
dan berperilaku. Jarang sekali Bapak saya menasehati saya secara langsung. Dari
beliaulah saya belajar ilmu sosial. Karena Beliau sering mengajak saya kalau
ada pertemuan Rembuk Warga Tahunan. Beliau seorang Ketua Rukun Warga yang
orang-orang tidak mau jika beliau tidak menjadi Pak RW lagi. Mungkin ini
sebabnya Bapak sudah menjadi RW selama lebih dari 10 tahun. Pernah suatu saat Bapak
berkata kepadaku, bahwa banyak orang tidak mau menjadi RW di desa karena tidak
ada gajinya, padahal Bapak ingin berhenti karena sudah lelah bukan karena tidak
ada gajinya. Pernah Suatu saat ada masalah, banyak warga datang ke rumah,
mereka hampir adu jotos parena persoalan tetangga yang sepele yaitu sampah. Akhirnya
setelah ada pendamaian yang di bawa Bapak. Persoalan selesai.
Kegiatan rumah kebanyakan Bapak
urus sendiri, Mulai mencuci motor, Mencuci Mobil, Mengurus Pekarangan, karena
menurutnya itu adalah penghilang rasa stress maupun upaya untuk mengisi waktu
yang terbuang sia-sia.
Suatu ketika ada teman kantornya
datang, Ia adalah Staff bawahan Bapak, dan berkata “ Pak Wid itu bukan
pekerjaan bapak (Mencabuti rumput dengan setengah telanjang atas) bapak kan
levelnya sudah manajerial”, bapakku
tertawa dan berkata “apakah ini hanya pekerjaan seorang kuli ?”. dari jauh saya
berkata dalam hati “tamu itu baru tahu, kegiatan itu sudah dilakoni Bapak
selama lebih 30 tahun” yang substansinya adalah Bapak sudah biasa melakukannya.
Bapak berbobot 46-51 dengan tinggi 165cm. bobotnya dari dulu tetap sama, tidak
pernah berubah. Betapa mungilnya dia. Namun dia tetap sehat dan mampu
menyaingiku berenang lama, bangun mendahuluiku setiap saat, dan giat bekerja.
Aku menjadi malu secara pribadi dengan tingkahku sendiri.
Saat orang membuat mushola di kampung-kampung dan waktu itu terlewati oleh kami (kira-kira 6 tahun lalu), ia berkata :”Buat apa mereka membangun mushola, padahal jarak masjid hanya 200 meter. Lebih baik berjamaah di masjid supaya jama’ahnya banyak”. Deg!, waktu itu, aku hanya mengunjungi masjid kalau ada acara besar dan sholat jum’at. Dengan ucapan Bapak, Aku menjadi termenung. Memang Bapak tidak pernah menyuruhku untuk sholat di masjid secara langsung, tapi Beliau melakukannya!. Ketika banyak langgar/mushola dekat rumah, Bapak lebih senang menuju masjid saat Sholat Isya’ dan Subuh karena pada saat Dhuhur beliau bekerja, asharnya mungkin lebih senang sholat sendiri, tetapi Maghribnya beliau langsung pimpin sendiri berjamaah di rumah.
Bersambung dulu ya…
Post a Comment